PPNSI Heran Kementerian Keuangan Tak Pro Petani
JAKARTA – Mahalnya harga cabai, bawang merah dan bawang putih di pasaran diyakini akibat lemahnya perlindungan pemerintah terhadap petani. Hal ini disebabkan, lambatnya pemerintah dan DPR dalam menyelesaikan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
“Petani tak mendapatkan perlindungan karena belum adanya aturan yang jelas. Untuk itu, pemerintah dan parlemen harus secepatnya menyelesaikan RUU Pelrindungan dan Pemberdayaan Petani, “ jelas Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Seluruh Indonesia (PPNSI) Martri Agoeng dalam diskusi "RUU Perlindungan Petani dan Nelayan" di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Senin (25/3)
Meski mendukung, RUU Pemberdayaan Petani dan Nelayan, Agoeng melihat masih adanya tiga persoalan subtansial yang harus diselesaikan DPR dan Pemerintah. Pertama, masih adanya keberatan dari Kementerian Keuangan terkait konsep fiskal yakni bank pertanian dan asuransi.
“Saya heran, mengapa Kementerian Keuangan tidak pro petani dan tak mendukung keberadaan RUU yang sangat dibutuhkan petani Indonesia ini,“ tegasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPR, DR Hermanto menerangkan, RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, lambat disahkan akibat lemahnya tekanan publik kepada parlemen. Ini menyedihkan, sebab RUU masalah pertanian belum mendapatkan respon baik dari publik.
“Tekanan publik terhadap keberadaan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani masih kurang. Padahal ada beberapa titik lemah sektor pertanian yang membutuhkan perlindungan, seperti ketika musim tanam (musim panen-red), modal, menghadapi isu pertanian nasional maupun global dan minimnya perlindungan negara untuk petani, “ tegasnya
Hermanto juga mempersoalkan, adanya konsep bank petani dan asuransi yang masih menjadi perdebatan sengit parlemen dan pemerintah. Dalam rapat panja di DPR, Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian masih mempersoalkan konsep bank pertanian yang dinilai bertentangan dengan regulasi perbankan.
“Saat ini pemerintah sedang sibuk membuat banyak bank baru. Sementara petani masih memiliki sudut pandang tradisional. Kondisi diperburuk kepemilikan petani terhadap lahan sangat kecil, yakni hanya 0,3 hektare. Ini artinya di Indonesia, belum ada pengusaha tani, jikapun ada, sangat kecil jumlahnya, “ tambahnya. [berita99]